Selasa, 02 Juni 2020

BHS : KAJIAN BAWAH PERMUKAAN LAPINDO LEBIH UTAMA UNTUK MENJAMIN KESELAMATAN PUBLIK



     Bambang Haryo Soekartono (BHS) melihat kondisi bencana Lumpur lapindo Sidoarjo. Lokasi yang rencananya akan dijadikan Kawasan wisata Geopark (Taman Geologi), ternyata masih belum pernah dilakukan kajian bawah permukaan. Hal ini membuat BHS, juga turut resah karena ini juga berpengaruh terhadap keselamatan nyawa public.
     BHS juga menambahkan bahwa bencana lumpur lapindo itu masih terus berlangsung dan belum selesai. Luas peta terdampak mencapai 1.300 hektar dari 640 hektar sebelumnya. Menurut tim ahli riset Rusia dan Australia usia semburan masih sekitar 30 (tigapuluh) tahun, selain itu adanya 2 (dua) sesar (patahan) yaitu sesar Watukosek dan Sesar Siring yang bertemu di Pusat semburan lumpur itu.
    “Semburan lumpur lapindo masih perlu diwaspadai. Terlebih  material semburannya masih fluktuatif mencapai 60.000 sampai 100.000 meter kubik per hari”Ujar BHS.
  Sementara Pusat Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PPLS) masih tetap menanggulanginya dengan cara meyalurkan air dan terus menerus meninggikan dan mempertebal tanggul agar tidak sampai jebol. Bahkan ketinggian tanggul saat ini mencapai diatas 12 meter dengan lebar 15 meter.
      “Sekarang semburan lumpur yang keluar agak berkurang, tapi airnya semakin deras. Antisipasinya adalah bagaimana tanggul tahan terhadap air karena sebelumnya tanggul hanya untuk penahan lumpur” Imbuhnya, dikutip dari republikjatim.
         Hal ini membuat BHS keberatan dengan rencana bencana ini dijadikan sebagai wisata Geopark. Menurutnya kondisi sangat membahayakan karena bencana belum berakhir dan perlu ada kajian secara cermat tentang kondisi saat ini. Resikonya begitu besar berkaitan dengan nyawa public. Setiap tahunnya masih terjadi penambahan semburan dan penurunan tanah di wilayah sekeliling peta terdampak sekitar 30 sentimeter dalam 10 tahun. Lebih baik mengutamakan keselamatan nyawa masyarakat Sidoarjo terlebih dahulu. Bagi BHS masih banyak lokasi yang bisa dieksplore untuk kepentingan wisata di Sidoarjo.
    Bakal Calon Bupati (bacabup) Sidoarjo ini mengatakan tentang dibutuhkannya perencanaan kontijensi (contingency plan) untuk penanganan darurat jika terjadi bencana. Bahkan dibutuhkan perencanaan yang baik seperti mitigasi bencana sekaligus informasi public dan sosialisasi ke masyarakat sebagai upaya antisipasinya. Selain itu penyediaan Early Warning System (EWS) untuk masyarakat di wilayah luar peta terdampak, yang jumlah penduduknya padat. Pengadaan EWS itu tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karena semburan termasuk bencana nasional.
       “BNPB dan Tim SAR harus ada disini untuk menyelamatkan dan menolong masyarakat jika terjadi bencana. Bila saya diamanti menjadi Bupati selain upaya tersebut insyaallah saya akan melakukan sosialisasi dan evakuasi warga yang dasarnya adalah ketepatan waktu (respon time) harus terukur dan terencana.Kalau sampai terlambat masyarakat yang akan kena dampaknya” Ujar BHS.
      Selain itu, BHS juga akan menginisiasi mengasuransikan semua rumah dan tanah serta aset lainnya pada potensi peta terdampak dan wilayah berpotensi terdampak. Hal ini agar jika terjadi bencana yang tidak diinginkan masyarakat bisa tenang dan tidak panik karena kehilangan aset. Bahkan tidak perlu lagi menyalahkan dan menuntut kesana kemari untuk mendapat ganti rugi.

       “Soal kajian dibawah permukaan lumpur yang membutuhkan sekitar Rp 54 miliar, bagi saya itu jumlah yang relative kecil dibanding keselamatan nyawa public di sekitar. Kalau pemerintah pusat tidak mau menganggarkan, pemerintah daerah harus siap menganggarkan untuk mengetahui hasil kajian kondisi dibawa permukaan tanah itu. Hal itu akan menjadi prioritas saya” Tegas Politisi Gerindra.
      Menurut Kabag TU PPLS, Derry Stya Mandhala bersama staff ahlinya menegaskan kajian bawah permukaan itu penting sebagai jaminan keselamatan warga sekaligus mengetahui kondisi dibawah permukaan itu. Penganggaran untuk kajian sudah dilakukan bahkan sudah masuk quality control dan supervise. Permasalahan yang dialaminya adalah kewenangan berada di bawah ESDM. Pihaknya tidak memiliki kewenangan tersebut, padahal menurutnya jika kajian dan hasilnya sudah dilakukan itu sangat penting untuk perencanaan pembangunan kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar